Hukum Waris: Perbandingan KUH Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat
Artikel ini membahas perbandingan hukum waris di Indonesia berdasarkan KUH Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Penjelasan mencakup definisi waris, sumber hukum, prinsip pembagian, hingga ciri khas tiap sistem. Dengan bahasa sederhana dan ringkas, artikel ini membantu masyarakat, mahasiswa, dan praktisi hukum memahami pilihan sistem waris sesuai konteks sosial, agama, dan budaya.
HUKUM
Donasto Samosir - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
8/9/2025


Definisi Hukum Waris
Hukum waris merupakan suatu norma hukum yang mengatur pembagian harta benda seseorang setelah meninggal dunia. Konsep dasar dari hukum ini mencakup hak dan kewajiban para ahli waris, serta cara pewarisan yang berlaku dalam suatu sistem hukum tertentu. Hukum waris berfungsi untuk mengatur bagaimana properti, kekayaan, dan segala bentuk harta yang dimiliki oleh pewaris akan dialokasikan kepada ahli waris yang berhak, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang atau aturan lain yang relevan.
Ruang lingkup hukum waris sangat luas, mencakup berbagai aspek, seperti siapa saja yang berhak menerima warisan, bagaimana cara pembagian dilakukan, serta prosedur yang diperlukan untuk menghadapi sengketa yang mungkin timbul. Hukum waris juga memegang peranan penting dalam menghindari konflik di antara para ahli waris dan menjaga keharmonisan dalam keluarga. Dengan adanya norma yang jelas, pewarisan dapat dilakukan secara adil dan sesuai dengan keinginan pewaris yang telah dinyatakan semasa hidupnya.
Dalam konteks yang lebih luas, hukum waris diakui dalam berbagai sistem hukum, termasuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), hukum Islam, dan hukum adat. Masing-masing sistem ini memiliki karakteristik dan ketentuan yang berbeda terkait pewarisan harta benda. Misalnya, KUH Perdata memberikan panduan tentang cara pembagian harta warisan berdasarkan hubungan keluarga, sedangkan hukum Islam lebih menekankan pada keadilan dan keseimbangan dalam pembagian antara ahli waris laki-laki dan perempuan. Hukum adat juga memberikan kecenderungan tertentu dalam pewarisan, sering kali berdasarkan tradisi lokal yang telah lama berlangsung.
Karena itu Secara sederhana, hukum waris adalah aturan yang mengatur perpindahan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya. Hukum ini mencakup siapa yang berhak menerima warisan, persentase atau hak atas warisan, dan mekanisme pembagiannya.
Menurut A. Pitlo dan para ahli Indonesia seperti Soebekti serta Tjitrosudibio, mengatakan hukum waris itu mencakup pemindahan kekayaan dengan memperhatikan konsekuensi hukum bagi pihak-pihak terkait, baik antar ahli waris maupun pihak ketiga.
Waris Menurut KUH Perdata
Ketentuan mengenai waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) diatur dalam Buku II dengan ketentuan khusus yang mengatur tentang harta peninggalan seseorang setelah meninggal dunia. Hal ini mencakup segala sesuatu yang menyangkut pewarisan, mulai dari jenis-jenis warisan hingga pendaftaran ahli waris. KUH Perdata membedakan antara warisan menurut hukum dan warisan menurut wasiat. Keseluruhan proses pewarisan dimulai ketika seorang pewaris meninggal dan mengakibatkan harta miliknya dibagikan kepada ahli waris.
Jenis-jenis warisan dalam KUH Perdata umumnya dibagi menjadi warisan berdasarkan hukum (ab intestato) dan warisan berdasarkan wasiat (testamentair). Warisan ab intestato terjadi ketika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat, yang menyebabkan pembagian harta dilakukan berdasarkan urutan keluarga yang diatur dalam pasal tertentu. Sebaliknya, warisan testamentair adalah pembagian harta sesuai dengan kehendak pewaris yang dituangkan dalam dokumen wasiat, yang harus memenuhi syarat yang ditentukan.
Ahli waris menurut KUH Perdata diatur melalui ketentuan yang jelas. Terdapat dua kategori ahli waris, yaitu ahli waris menurut undang-undang dan ahli waris berdasarkan wasiat. Dalam hal ini, pewaris harus memahami dan menyesuaikan antara hak dan kewajiban yang terdapat dalam ketentuan tersebut. Hak ahli waris mencakup hak untuk menerima bagian dari warisan, sedangkan kewajiban mencakup tanggung jawab dalam mengelola dan membayarkan utang-utang pewaris jika ada.
Proses pemindahan hak atas warisan di bawah KUH Perdata juga harus diikuti dengan prosedur formal, termasuk penyelesaian surat waris dan pendaftaran waris di lembaga yang berwenang. Dengan memahami ketentuan ini, diharapkan setiap individu dapat merencanakan pembagian pewarisan dengan baik, sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam sistem waris yang diatur oleh Kitab Undang‑Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)—yang merupakan warisan hukum Belanda—pemindahan harta warisan terjadi karena kematian pewaris. Ahli waris dibagi dalam empat golongan besar:
Golongan I: suami atau istri yang masih hidup, anak-anak sah, dan keturunannya.
Golongan II: ayah, ibu, dan saudara kandung pewaris.
Golongan III: kakek dan nenek.
Golongan IV: keluarga sedarah dalam garis samping hingga derajat keenam.
Jika pewaris tidak membuat wasiat, pembagian waris dilakukan dengan ketentuan undang‑undang (ab intestato). Misalnya, suami/istri dan anak mendapat bagian yang sama jumlahnya. Jika tidak ada, maka orang tua atau saudara lah yang mewaris dengan proporsi tertentu. Sistem ini bersifat egaliter—setiap ahli waris dianggap setara tanpa membedakan gender—dan bisa dilakukan melalui mekanisme hukum (automatis) atau melalui surat wasiat (testamentair).
Waris Menurut Hukum Islam
Waris dalam hukum Islam diatur dalam sumber-sumber syariah, seperti Al-Qur'an dan Hadis. Prinsip-prinsip utama yang membentuk sistem pewarisan ini berfokus pada keadilan dan keseimbangan. Menurut hukum Islam, pembagian waris ditetapkan berdasarkan hubungan darah dan status penerima. Hal ini berarti bahwa ahli waris, termasuk anak-anak, pasangan, dan orang tua, memiliki hak tertentu atas harta peninggalan orang yang telah meninggal. Hukum waris Islam di Indonesia diatur terutama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang merujuk pada ajaran Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama. Bagian kewarisan tercantum mulai Pasal 171 hingga 214 KHI, mencakup ahli waris, porsi pembagian, wasiat, hibah, serta mekanisme aul dan rad.
Sistem pembagian warisan dalam hukum Islam telah ditentukan dengan jelas, salah satunya melalui ketentuan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, seorang pria mendapatkan porsi dua kali lipat dibandingkan dengan seorang wanita dalam kasus warisan yang melibatkan anak. Hal ini mencerminkan tanggung jawab finansial yang lebih besar yang biasanya diemban oleh pria dalam struktur keluarga tradisional. Namun, penting untuk dicatat bahwa wanita juga memiliki hak untuk mewarisi, dan porsi mereka diatur sedemikian rupa untuk memastikan keadilan sosial dalam konteks keluarga.
Selain pembagian harta, wasiat juga memegang peranan penting dalam hukum waris Islam. Wasiat memberikan hak bagi seseorang untuk menentukan tujuan tertentu mengenai bagaimana harta mereka harus dibagikan setelah meninggal. Namun, ada batasan dalam wasiat, di mana hanya sepertiga dari total harta yang boleh diwasiatkan, sementara dua pertiga sisanya harus dibagikan sesuai dengan ketentuan syariah. Ini untuk mencegah penyelewengan hak-hak ahli waris yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, warisan bukan hanya sekadar transfer harta, tetapi juga mencerminkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antar anggota keluarga. Hukum waris Islam bertujuan untuk memastikan bahwa hak-hak semua pihak dihormati dan dipelihara, menciptakan keseimbangan dalam hubungan keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Pembagian ahli waris Islam dirinci dalam dua kelompok:
Dzawil Furud: ahli waris dengan bagian pasti seperti anak laki-laki/perempuan, ayah, ibu, suami/istri, saudara seibu, dll.
Ashobah: ahli waris yang menerima sisa warisan setelah diberikan kepada Dzawil Furud.
Konsep ahli waris pengganti (sebagai akibat wafat lebih dahulu sebelum pewaris) diakui dalam Pasal 185 KHI, dengan ketentuan bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikan.
Salah satu perbedaan penting dibanding KUHPerdata adalah pembagian tidak setara antara laki-laki dan perempuan: laki-laki mendapat porsi dua kali lipat perempuan, sesuai prinsip tanggung jawab dan keadilan dalam Islam.
Waris Menurut Hukum Adat
Waris, atau pewarisan, merupakan aspek integral dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Pada umumnya, hukum adat memberikan panduan yang jelas mengenai pembagian harta warisan dan tidak jarang berfungsi sebagai sistem pengaturan sosial yang kuat dalam masyarakat. Setiap suku memiliki ketentuan dan praktik yang berbeda, yang mengakibatkan variabilitas dalam pendekatan terhadap warisan. Misalnya, pada masyarakat adat Minangkabau, berlaku sistem matrilineal di mana harta warisan diturunkan melalui garis perempuan. Hal ini berbeda dengan suku Batak yang menerapkan sistem patrilineal, di mana aset-warisan lebih cenderung diteruskan melalui garis laki-laki.
Adat tidak hanya mengatur tentang bagaimana harta dibagi, tetapi juga melibatkan nilai-nilai budaya dan norma yang mendasari keputusan. Dalam beberapa komunitas, hukum adat memandang pentingnya pengawalan oleh tokoh masyarakat atau pemuka adat dalam proses pembagian warisan, untuk memastikan bahwa keadilan dan keselarasan sosial tetap terjaga. Proses mediasi yang dilakukan oleh pemuka adat seringkali dianggap lebih adil dan bijaksana, mengingat mereka memahami konteks budaya dan kebutuhan masyarakat setempat.
Terkait dengan hukum negara dan hukum Islam, hukum adat seringkali berfungsi sebagai pelengkap yang menyesuaikan dengan konteks lokal. Hukum negara Indonesia mengakui keberadaan hukum adat, sehingga dalam beberapa kasus, hukum adat dapat berinteraksi langsung dengan ketentuan hukum yang lebih umum, termasuk hukum Islam. Dalam situasi tertentu, jika tidak ada kesepakatan antara waris yang menerapkan hukum Islam dan hukum adat, akan muncul potensi konflik yang perlu diselesaikan melalui dialog dan pertimbangan bersama.
Secara keseluruhan, hukum waris menurut adat mencerminkan keanekaragaman budaya masyarakat Indonesia. Pemahaman menghadirkan kepentingan bersama sebagai kunci dalam menjaga keharmonisan sosial di tengah perbedaan yang ada. Dalam kerangka ini, hukum adat tidak hanya berkaitan dengan aspek legal tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Adat secara umum bersifat komunal, dan tidak selalu tertulis—aturan lebih mengutamakan kepentingan kelompok ketimbang individu, berbeda dengan sistem tertulis pada KUHPerdata dan Islam.
Perbandingan Antara Ketiga Sistem Hukum
Hukum waris di Indonesia sangat beragam, dikategorikan ke dalam tiga sistem utama: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), hukum Islam, dan hukum adat. Setiap sistem memiliki karakteristik dan prinsip yang berbeda, meskipun pada dasarnya bertujuan untuk mengatur pembagian harta warisan. Dalam konteks ini, perbandingan di antara ketiga sistem hukum ini penting untuk memahami bagaimana masing-masing memengaruhi masyarakat yang berbeda.
KUH Perdata mengadopsi prinsip mengutamakan hak individu dalam pembagian harta waris. Hal ini terlihat dari sistem yang mempertimbangkan kedudukan hukum para ahli waris, di mana warisan dibagi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, tanpa memerlukan pengaturan tambahan dari nilai sosial setempat. Sebaliknya, hukum Islam lebih menekankan aspek keadilan berdasarkan prinsip syariah, di mana harta waris dibagi sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan hadis. Ini berarti ada perbedaan dalam proporsi warisan yang diterima oleh laki-laki dan perempuan, menciptakan keunikan dalam pembagian harta yang sering tidak ditemukan dalam KUH Perdata.
Sementara itu, hukum adat beroperasi secara fleksibel dan terikat pada norma-norma sosial yang berlaku di masing-masing komunitas. Dalam sistem ini, pembagian harta waris sering kali terpengaruh oleh tradisi dan budaya setempat. Hal ini menjadikan hukum adat lebih responsif terhadap konteks sosial dan ekonomi masyarakat, meskipun mungkin kurang terstandarisasi dibandingkan dengan hukum tertulis. Pengaruh nilai-nilai sosial dalam hukum adat menciptakan keunikan tersendiri, menjadikannya bagian integral dari identitas komunitas.
Secara keseluruhan, meskipun ketiga sistem hukum ini berfokus pada penyelesaian masalah waris, perbedaan mendasar cara pandang dan penerapan masing-masing sangat mencolok. Budaya dan tradisi lokal tentu memainkan peran yang signifikan dalam menentukan bagaimana hukum ini diterapkan dan dipahami oleh masyarakat yang bersangkutan.
Perbandingan Dalam Tabel:
Studi Kasus dan Contoh Konkrit
Penerapan hukum waris di Indonesia melibatkan beragam sistem hukum, seperti KUH Perdata, hukum Islam, dan hukum adat. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana hukum waris ini diterapkan dalam praktik, berikut beberapa studi kasus yang relevan.
Contoh pertama dapat dilihat dalam kasus seorang bapa yang meninggalkan dua orang anak. Berdasarkan KUH Perdata, kedua anak tersebut berhak menerima bagian warisan yang sama. Dalam hal ini, jika total aset yang diwariskan adalah Rp 200 juta, maka masing-masing anak akan menerima Rp 100 juta. Namun, bila bapa tersebut membuat wasiat yang menyatakan bahwa salah satu anaknya akan menerima warisan lebih banyak karena alasan tertentu, maka wasiat tersebut akan mempertimbangkan hak asasi dan kepentingan para ahli waris.
Dalam konteks hukum Islam, kasus serupa juga muncul. Menurut hukum waris Islam, laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian warisan dibandingkan perempuan. Jika bapa yang sama meninggalkan anak laki-laki dan perempuan, maka anak laki-laki akan menerima Rp 133,3 juta dan anak perempuan akan menerima Rp 66,6 juta dari total Rp 200 juta. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan dalam pembagian warisan sesuai petunjuk Al-Qur'an.
Selanjutnya, terdapat juga kasus yang melibatkan hukum adat. Misalnya, dalam suku tertentu, semua warisan dari seorang kepala suku langsung menjadi milik marga dan kemudian dibagikan sesuai kesepakatan bersama. Dalam hal ini, individu tidak memiliki hak atas warisan secara langsung, tetapi berpartisipasi dalam keputusan kolektif. Proses ini menunjukkan bagaimana hukum adat berfungsi untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat tradisional.
Melalui contoh-contoh ini, terlihat bagaimana dinamika hukum waris di Indonesia dapat berbeda tergantung pada sistem hukum yang digunakan, sekaligus memberikan wawasan mengenai tantangan dan praktik nyata dalam penyelesaian sengketa warisan.
Penutup
Dalam artikel ini, telah dibahas secara mendalam mengenai hukum waris berdasarkan tiga sistem hukum utama yang ada di Indonesia, yaitu KUH Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Setiap sistem hukum memiliki karakteristik dan aturan tersendiri dalam mengatur pembagian harta waris. KUH Perdata lebih bersifat sekuler dan mengutamakan prinsip kesetaraan, sedangkan Hukum Islam memberikan perhatian pada pembagian yang adil menurut syariat. Di sisi lain, Hukum Adat cenderung mengedepankan norma dan tradisi setempat, yang seringkali sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat.
Penting untuk memahami perbedaan dan kesamaan di antara ketiga sistem hukum ini, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam. Dalam konteks Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi, harmonisasi di antara ketiga sistem hukum ini sangat diperlukan. Sinergi antara KUH Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan pewarisan secara lebih adil dan berkeadilan.
Di masa depan, pemahaman yang lebih baik mengenai hukum waris dan penerapan prinsip-prinsip yang adil akan sangat berpengaruh dalam pencegahan sengketa waris. Masyarakat perlu didorong untuk belajar dan memahami hak-hak mereka sebagai ahli waris, serta mensosialisasikan pentingnya melibatkan pihak-pihak terkait saat merencanakan pembagian harta waris. Komunikasi antar generasi dan antar individu, serta sinergi antara ketiga hukum tersebut, diharapkan dapat menciptakan situasi yang lebih kondusif dalam mengelola harta waris. Dengan demikian, pewarisan tidak lagi menjadi beban, melainkan proses yang membawa kedamaian dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Daftar Pustaka (Format Endnote)
Hukumonline. Pembagian Harta Waris menurut Hukum Perdata, 2023.
Halo JPN. Hukum Waris Islam dan Perdata, 2023.
FH Unmul. Sosialisasi Hukum Waris Islam, Hukum Perdata, dan Hukum Adat, 2022.
JDIH Sukoharjo. Mengenal Sistem Hukum Waris di Indonesia, 2024.
UPNVJ UPN Veteran Jakarta. Analisis Perbandingan Pembagian Harta Waris berdasarkan Hukum Adat Minangkabau dan KUHPerdata, 2023.
Repository UGM. Perbandingan Hukum Waris Islam dengan Hukum Waris KUHPerdata (Tesis).
Untar. Kewarisan Dalam Hukum Nasional, 2024.
(Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)



