Orde Baru Soeharto: Pembangunan dan Represi Politik

Artikel ini membahas Orde Baru Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun, mulai dari awal kekuasaan, strategi pembangunan ekonomi, stabilitas politik, hingga represi terhadap oposisi. Ulasan juga menyoroti praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengakar, serta faktor-faktor runtuhnya rezim pada 1998. Kajian ini memberi gambaran lengkap tentang paradoks pembangunan dan represi politik di era Soeharto.

POLITIK

Donasto Samosir - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

8/16/2025

Awal Kekuasaan Soeharto

Kebangkitan Soeharto sebagai pemimpin Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks politik yang mengelilingi peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Peristiwa ini menjadi titik balik yang signifikan, yang mengguncang stabilitas politik dan sosial di Indonesia. G30S dianggap sebagai upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Meskipun ada kontroversi terkait peran sebenarnya dari G30S dan keterlibatan PKI, hasil dari kekacauan ini menciptakan celah yang memungkinkan Soeharto untuk merebut kekuasaan.

Pada bulan Oktober 1965, dalam situasi yang semakin tidak menentu, Soeharto, yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, mengambil langkah tegas untuk mengendalikan situasi. Dukungan dari militer dan berbagai kelompok politik lainnya membantunya untuk menghimpun kekuasaan. Dalam waktu singkat, Soeharto berhasil mengalihkan perhatian publik terhadap Sukarno, yang dianggap gagal dalam mengatasi krisis. Dengan dukungan kekuatan militer, Soeharto perlahan-lahan mengkonsolidasikan posisi kekuasaannya.

Soeharto memanfaatkan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) sebagai legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Dengan surat tersebut, Soeharto secara perlahan menyingkirkan kekuatan politik Sukarnois, membersihkan PKI dan simpatisannya, serta menata ulang sistem politik yang lebih menguntungkan militer. Pada Maret 1967, MPRS secara resmi mencabut mandat Sukarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden, sebelum akhirnya dilantik penuh sebagai Presiden pada Maret 1968.

Setelah secara resmi menggeser Sukarno, Soeharto meresmikan era Orde Baru, yang ditandai dengan serangkaian kebijakan yang berfokus pada stabilitas ekonomi dan politik. Ia mengimplementasikan program-program yang bertujuan untuk menanggulangi inflasi, meningkatkan investasi, dan mengurangi pengaruh komunisme di Indonesia. Namun, kebijakan awal ini juga disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, termasuk pembersihan kepada mereka yang dituduh terlibat dengan PKI. Dengan strategi ini, Soeharto berupaya untuk mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin yang berkuasa dan membangun citra kekuatan yang stabil dalam pemerintahan Indonesia.

Dengan latar belakang militer yang kuat, Soeharto membawa visi Orde Baru: menegakkan stabilitas politik, pembangunan ekonomi, serta menata ulang hubungan Indonesia dengan dunia internasional. Ia menekankan semboyan “stabilitas politik adalah syarat pembangunan”, yang kemudian menjadi dasar ideologi pemerintahannya selama lebih dari tiga dekade.

Pembangunan Ekonomi & Stabilitas Politik

Pembangunan ekonomi di Indonesia selama era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menjadi salah satu fokus utama yang berperan penting dalam menciptakan stabilitas politik. Berbagai kebijakan telah diterapkan untuk memajukan sektor-sektor vital seperti infrastruktur, pertanian, dan industri. Pembangunan infrastruktur, termasuk transportasi dan komunikasi, memungkinkan konektivitas yang lebih baik antar wilayah, sehingga mendorong kegiatan ekonomi dan memfasilitasi distribusi sumber daya. Langkah ini tidak hanya merangsang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas politik dengan mengurangi ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial dan ekonomi mereka.

Salah satu pencapaian terbesar Orde Baru di awal pemerintahannya adalah pemulihan ekonomi nasional. Pada akhir 1960-an, inflasi Indonesia mencapai lebih dari 600%, cadangan devisa hampir habis, dan harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Soeharto bekerja sama dengan teknokrat yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley”, yaitu ekonom lulusan Universitas California, Berkeley, untuk merancang kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.

Peningkatan sektor pertanian menjadi salah satu program unggulan yang digencarkan pada masa ini. Melalui kebijakan dengan menyediakan subsidi dan teknologi, produktivitas pertanian meningkat secara signifikan. Keberhasilan ini tidak hanya berimplikasi pada ketahanan pangan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan menurunkan angka kemiskinan, sehingga memperkokoh dukungan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan memperbaiki kualitas hidup warganya, Soeharto berhasil mengurangi potensi gejolak sosial yang sering kali muncul dalam situasi ekonomi yang sulit.

Pada 1980-an, Indonesia mengalami swasembada beras berkat program Revolusi Hijau. Pemerintah memperkenalkan pupuk bersubsidi, bibit unggul, dan irigasi masif untuk meningkatkan produksi pangan. Keberhasilan ini mengangkat citra Soeharto di mata dunia internasional, bahkan FAO memberikan penghargaan atas capaian tersebut.

Pemerintah Orde Baru membuka diri terhadap investasi asing, menandatangani perjanjian dengan IMF, serta membentuk konsorsium donor internasional seperti IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia). Dengan kebijakan itu, inflasi berhasil ditekan hingga sekitar 20% pada awal 1970-an. Program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) diluncurkan sebagai kerangka pembangunan berjangka panjang dengan prioritas pada pertanian, infrastruktur, dan stabilisasi harga.

Industri juga mengalami transformasi besar. Upaya industrialisasi yang dilakukan dengan menarik investasi luar negeri, terutama dari negara-negara Barat, membawa masuk modal dan teknologi yang diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dukungan dari negara-negara Barat, baik secara finansial maupun teknologis, membuat Indonesia tampil sebagai negara berkembang yang menarik. Interaksi ini tidak hanya menciptakan peluang ekonomi, namun juga memperkuat legitimasi pemerintah Soeharto di mata khalayak internasional.

Secara keseluruhan, pencapaian ekonomi yang diraih pada era Orde Baru menjadikan stabilitas politik sebagai salah satu hasil yang signifikan. Kesejahteraan yang meningkat dan dukungan investasi dari luar negeri berkolaborasi membentuk lingkungan politik yang relatif stabil, meskipun diwarnai dengan tantangan dalam hal hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, analisis terhadap pembangunan ekonomi di era Soeharto membutuhkan pemahaman yang komprehensif mengenai interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik yang terjaga.

Dari sisi politik, Soeharto menekankan stabilitas melalui kontrol ketat. Sistem multipartai yang bebas di era Sukarno dibatasi menjadi tiga partai: Golkar (sebagai kendaraan politik pemerintah), PPP, dan PDI. Pemilu rutin digelar setiap lima tahun, namun selalu dimenangkan Golkar dengan persentase suara yang sangat dominan. Sistem politik ini dianggap “demokrasi Pancasila” tetapi pada praktiknya bersifat semu karena oposisi ditekan habis-habisan.

Represi Politik & Korupsi

Meski pembangunan ekonomi cukup berhasil, Orde Baru juga dicirikan dengan represi politik. Kebebasan pers, akademisi, dan organisasi masyarakat dibatasi ketat. Aparat keamanan diberi kewenangan besar melalui doktrin “dwi fungsi ABRI”, yakni peran militer tidak hanya dalam pertahanan, tetapi juga dalam politik dan pemerintahan. Doktrin ini menjadikan militer sebagai kekuatan dominan di hampir semua lini birokrasi.

Selama periode Orde Baru di Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, represi politik menjadi bagian terangkum dari tata kelola pemerintahan. Kebebasan berekspresi secara signifikan dibatasi, di mana suara-suara kritis terhadap pemerintah sering mengalami pengekangan. Media massa dan organisasi-organisasi sosial tidak diberikan ruang untuk menyuarakan pandangan yang berbeda dari pemerintah. Hal ini menciptakan suasana ketakutan yang meluas di kalangan masyarakat, di mana setiap upaya untuk mendiskusikan alternatif kebijakan dapat berujung pada konsekuensi serius, termasuk penangkapan dan penghilangan aktivis.

Represi terlihat jelas pada peristiwa seperti Malari 1974, di mana demonstrasi mahasiswa yang menolak investasi asing berujung kerusuhan besar di Jakarta. Pemerintah menanggapinya dengan membatasi ruang gerak mahasiswa dan menutup media yang dianggap kritis. Begitu pula dengan tragedi Tanjung Priok 1984 dan Santa Cruz, Dili 1991, yang menunjukkan penggunaan kekerasan militer untuk membungkam protes rakyat.

Sebagai bentuk nyata dari pelanggaran hak asasi manusia, banyak lawan politik yang ditangkap tanpa proses hukum yang jelas. Hal ini tidak hanya menciptakan stigma negatif terhadap oposisi, tetapi juga memastikan bahwa kekuasaan Soeharto tetap tidak tersaingi. Penangkapan tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan memperlihatkan bahwa pemerintahan Orde Baru sangat merespons ancaman yang mungkin muncul. Dalam banyak kasus, aktivis yang berjuang untuk perubahan dan demokrasi dihadapkan pada tindakan kekerasan yang brutal, menjadikan iklim politik kala itu sangat menekan.

Sementara itu, korupsi juga menjadi fenomena yang meluas di kalangan pejabat negara. Praktik korupsi terjadi secara sistematis, mengendap dalam struktur pemerintahan dan menyebar ke berbagai instansi. Banyak individu di posisi kekuasaan memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan wewenang dan mengutilisasi anggaran publik untuk kepentingan pribadi. Korupsi yang merajalela ini tidak hanya merugikan pembangunan ekonomi tetapi juga mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Dalam banyak hal, tantangan untuk menerapkan reformasi dan memerangi korupsi menjadi semakin kompleks akibat budaya korupsi yang telah mengakar kuat di tubuh pemerintahan.

Korupsi sistemik ini diperparah oleh lemahnya sistem hukum. Aparat penegak hukum sering tunduk pada kepentingan politik. Akibatnya, praktik KKN menjadi budaya birokrasi Orde Baru yang sulit diberantas bahkan hingga setelah jatuhnya rezim.

Runtuhnya Orde Baru

Runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, yang dipicu oleh sejumlah faktor krusial, di antaranya adalah krisis ekonomi yang melanda seluruh negeri. Krisis ini, yang mulai terlihat pada pertengahan 1997, berakar pada berbagai masalah struktural dalam perekonomian. Ketika nilai tukar rupiah anjlok secara dramatis, inflasi meroket, dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi, dampak sosialnya mulai dirasakan oleh banyak orang. Masyarakat dari berbagai lapisan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar, meningkatkan frustrasi terhadap pemerintah Soeharto yang dianggap tidak mampu menangani situasi yang ada.

Di tengah kondisi tersebut, gerakan reformasi mulai tumbuh dengan pesat. Berbagai organisasi, kelompok mahasiswa, serta masyarakat sipil bersatu untuk menuntut perubahan yang lebih dari sekadar perbaikan ekonomi. Mereka menginginkan keadilan sosial, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Tuntutan ini semakin menguat ketika aksi unjuk rasa tumbuh di berbagai kota besar, termasuk Jakarta, yang menyoroti kekuasaan otoriter Orde Baru yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Aktivis yang terlibat dalam gerakan ini berusaha keras untuk menarik perhatian dunia internasional, memanfaatkan berbagai platform untuk memberi tahu tentang pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang melanda rezim tersebut.

Pada saat krisis ekonomi mengganas dan suara masyarakat semakin kuat, tekanan politik pun meningkat. Para elite politik, yang sebelumnya mendukung Soeharto, mulai menjauh dan mempertanyakan legitimasi kepemimpinannya. Keterasingan semakin fed up dan ledakan protes akhirnya memuncak ketika Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, setelah lebih dari 31 tahun berkuasa. Keputusan ini menandai akhir dari Orde Baru dan membuka jalan bagi era reformasi yang membawa perubahan signifikan dalam tatanan politik Indonesia.

Legacy Orde Baru dalam Sejarah Indonesia

Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto, meninggalkan jejak yang kompleks dalam sejarah Indonesia, mencakup berbagai aspek positif dan negatif. Di satu sisi, periode ini dikenal karena kebijakan pembangunan ekonominya yang agresif. Program stabilisasi ekonomi dan industrialisasi telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, dan meningkatkan infrastruktur di banyak daerah. Tercatat dalam berbagai laporan bahwa Indonesia mengalami transformasi signifikan, dengan meningkatnya hasil produksi pertanian dan industri serta berkembangnya sektor pendidikan. Namun, di balik pencapaian tersebut, terdapat warisan yang kurang diinginkan yang tetap membekas hingga saat ini.

Salah satu dampak negatif yang paling kentara dari era Orde Baru adalah repressive political culture yang terbangun selama periode tersebut. Kebijakan otoriter yang diterapkan oleh pemerintah Soeharto telah mengakibatkan hilangnya ruang bagi kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia. Penindasan terhadap para pembangkang politik serta pengawasan yang ketat terhadap masyarakat sipil menciptakan suasana ketakutan yang mendalam. Tindakan represif ini tidak hanya memengaruhi politik saat itu, tetapi juga membentuk pola pikir masyarakat Indonesia dalam berinteraksi dengan kekuasaan. Meskipun reformasi telah membawa perubahan, efek samping dari praktik-praktik kekuasaan tersebut masih dapat terlihat pada dinamika politik saat ini.

Selain itu, korupsi yang merajalela selama Orde Baru merupakan warisan yang sulit dihapus. Struktur pemerintahan yang korup dan nepotisme yang jauh meluas telah menciptakan tantangan berkepanjangan dalam upaya memberantas praktik-praktik ini. Banyak pengamat menilai bahwa meskipun ada kemajuan pasca-reformasi, dampak negatif dari korupsi yang sistemik masih mengancam pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, mengkaji warisan Orde Baru akan memberikan wawasan mengenai tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam perjalanan menuju demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan.

Perbandingan dengan Era Sebelumnya dan Sesudahnya

Dalam memahami dinamika politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia, perbandingan antara era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, era Sukarno sebelum itu, dan periode Reformasi setelahnya menjadi penting untuk dilakukan. Era Sukarno ditandai dengan pendekatan yang lebih ideologis dan populis, di mana negara mengusung narasi pembangunan nasional yang seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai sosialisme. Kebijakan-kebijakan yang dijalankan cenderung bertujuan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, meskipun pada saat yang sama, negara menghadapi tantangan yang signifikan terkait dengan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Pertentangan internal dan pengaruh luar sering kali mengganggu kelangsungan pemerintahan yang efektif.

Setelah itu, Orde Baru membawa perubahan signifikan dalam pendekatan pemerintahan. Soeharto menekankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama. Dalam sektor ekonomi, kebijakan liberalisasi diadopsi untuk mendorong investasi asing dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Walaupun terjadi kemajuan ekonomi yang signifikan selama periode ini, kritik terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan pengekangan kebebasan politik muncul sebagai sisi gelap dari pemerintahan Orde Baru.

Periode Reformasi yang dimulai pada akhir 1990-an menandai transisi menuju demokrasi, ditandai dengan penghapusan sistem otoriter dan penegakan kebebasan sipil. Namun, tantangan baru muncul, termasuk korupsi yang merajalela dan ketidakstabilan ekonomi yang kerap kali mengancam kemajuan yang telah dicapai. Melalui refleksi terhadap masa lalu, kita dapat melihat bagaimana setiap era memiliki keunikan, tantangan, serta pencapaian tersendiri yang membentuk wajah Indonesia hingga saat ini. Pemahaman ini penting untuk menilai pergeseran kebijakan dan dampaknya pada masyarakat secara keseluruhan.

Pandangan Masyarakat Terhadap Orde Baru

Pandangan masyarakat terhadap Orde Baru di Indonesia, yang dipimpin oleh Soeharto, tidaklah monolitik. Beberapa kalangan memberikan dukungan penuh, sementara yang lain menunjukkan ketidaksetujuan yang tajam. Di satu sisi, para pendukung seringkali menilai era tersebut sebagai masa pembangunan yang signifikan. Mereka menyoroti keberhasilan dalam mencapai stabilitas ekonomi, meningkatkan infrastruktur, dan memperbaiki akses pendidikan. Dalam pandangan ini, Orde Baru dianggap berhasil dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pesat, berkat kebijakan pemerintah yang pro-investasi dan restrukturisasi sektor agro-bisnis.

Namun, sudut pandang yang berbeda datang dari berbagai kelompok, termasuk akademisi dan aktivis hak asasi manusia. Banyak dari mereka yang mengkritik kebijakan represif yang dilakukan oleh rezim Soeharto. Mereka menekankan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, termasuk penahanan tanpa proses hukum, peredaran informasi yang dibatasi, dan pengekangan kebebasan berekspresi. Kenangan buruk dari tindakan keras tersebut masih membekas dalam ingatan banyak orang, termasuk korban dan keluarga mereka. Diskursus di ruang publik sering kali terganggu oleh polaritas ini, di mana masing-masing pihak mempertahankan argumen mereka secara bersemangat.

Selanjutnya, di kalangan warga biasa, terdapat nuansa yang lebih kompleks. Banyak yang mengakui kemajuan yang dicapai selama Orde Baru, sambil juga mengingat ketakutan yang menyelimuti kehidupan sehari-hari. Berbagai survei menunjukkan bahwa meskipun nostalgia terhadap stabilitas politik masih ada, keinginan untuk mengingat kembali fakta-fakta kelam tidak kalah penting. Masyarakat terus berusaha untuk mendamaikan dua sisi ini, yang mencerminkan dilema identitas kolektif yang masih dihadapi bangsa Indonesia hari ini.

Sumber:

  1. Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1999.

  2. Aspinall, Edward & Greg Fealy (eds). Indonesia: Beyond Suharto. Jakarta: LP3ES, 2000.

  3. Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Boulder: Westview Press, 1994.

  4. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008.

  5. Vatikiotis, Michael. Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall of the New Order. New York: Routledge, 1998.

  6. Kompas. “Krisis Moneter 1997 dan Runtuhnya Orde Baru.” Kompas.id, 21 Mei 2018.

  7. Tempo. “KKN dan Runtuhnya Orde Baru.” Majalah Tempo, Edisi Khusus Mei 1998.

  8. Heryanto, Ariel & Sumit Mandal (eds). Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. London: Routledge, 2003.

  9. Transparency International. “Global Corruption Report.” Berlin: Transparency International, 2004.

  10. Elson, R.E. Suharto: A Political Biography. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.

(Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)