Politik Identitas: Pengaruhnya Terhadap Pemilu dan Demokrasi

Artikel ini membahas politik identitas dan dampaknya terhadap pemilu serta demokrasi di Indonesia. Politik identitas sering digunakan untuk memobilisasi dukungan berbasis agama, etnis, atau kelompok, namun dapat memicu polarisasi dan melemahkan demokrasi. Artikel menyoroti tantangan seperti hoaks, fragmentasi sosial, serta perlunya edukasi politik, regulasi tegas, dan penguatan wawasan kebangsaan agar demokrasi tetap inklusif dan stabil di tengah keberagaman masyarakat.

POLITIK

Donasto Samosir - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

8/11/2025

Definisi Politik Identitas

Politik identitas adalah suatu konsep yang merujuk pada cara individu atau kelompok sosial, seperti etnis, agama, atau budaya, mengorganisir diri mereka dalam proses politik untuk mencapai tujuan bersama. Konsep ini berfungsi sebagai kendaraan bagi kelompok-kelompok tersebut untuk mengekspresikan kepentingan dan pengalaman unik mereka di arena publik. Dalam banyak hal, politik identitas muncul sebagai respons terhadap marginalisasi atau diskriminasi yang mungkin dialami oleh kelompok-kelompok tertentu. Hal ini mendorong mereka untuk membentuk identitas kolektif dalam upaya untuk meningkatkan kewarganegaraan dan mendapatkan pengakuan dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas.

Politik identitas adalah strategi politik yang menekankan identitas kelompok seperti agama, etnis, ras, atau budaya sebagai basis untuk memobilisasi dukungan politik. Alih-alih bersaing lewat kebijakan atau program, pilihan politik ditentukan oleh afiliasi identitas tertentu. Identitas ini bisa digunakan untuk menyatukan atau justru membelah masyarakat, tergantung konteks dan niatan aktor politik.

Kelompok sosial yang terlibat dalam politik identitas sering kali mencari untuk mendapatkan representasi yang lebih baik dalam pemerintahan dan pemilu. Dengan menciptakan narasi yang berkaitan dengan ciri khas budaya atau pengalaman hidup mereka, anggota kelompok tersebut berusaha untuk menarik perhatian para pemangku kepentingan serta menciptakan kesadaran di kalangan masyarakat umum. Hal ini berpotensi memengaruhi cara pandang individu terhadap politik dan pemilu, karena nilai-nilai serta aspirasi kelompok identitas tersebut dapat memandu keputusan politik dan perilaku pemilih.

Pentingnya politik identitas dalam konteks demokrasi tidak dapat diabaikan. Dalam sistem yang menjunjung pluralisme, perwujudan politik identitas membantu memastikan bahwa perspektif beragam diperhitungkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, terkadang, politik identitas juga dapat menciptakan perpecahan ketika kelompok-kelompok tersebut terjebak dalam retorika eksklusif atau antagonistik. Dinamika ini dapat mempengaruhi stabilitas sosial dan politik, sehingga ada kebutuhan untuk pendekatan yang seimbang dalam memahami dan mengelola politik identitas pada saat pemilu.

Faktor Pendorong Politik Identitas

Politik identitas di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor utama yang menciptakan identitas kelompok dalam masyarakat, di antaranya adalah agama, etnis, dan budaya. Masing-masing faktor ini memainkan peranan penting dalam membentuk cara pandang individu terhadap politik dan pengambilan keputusan dalam pemilu.

Berikut beberapa faktor yang menjadi pangkal politik identitas:

  • Agama sering menjadi pemicu utama dalam kontestasi politik Indonesia, di mana isu-isu keagamaan dipakai sebagai pemicu sentimen pemilih.

  • Etnis dan budaya turut dijadikan pemicu emosional dalam pemilu daerah multikultural seperti Papua, Maluku, atau Kalimantan.

  • Media sosial dan narasi digital, yang terintegrasi dalam kampanye modern, mempercepat polarisasi identitas—media menjadi arena penguatan sentimen identitas.

Agama merupakan salah satu faktor dominan yang dapat mempengaruhi politik identitas. Dalam konteks Indonesia, di mana kebhinekaan agama sangat mencolok, masyarakat sering kali terkotak dalam identitas keagamaan mereka. Misalnya, pemilih dari kalangan Muslim mungkin lebih cenderung memilih partai atau kandidat yang secara terbuka mendukung nilai-nilai Islam. Hal ini tercermin dalam pemilu di mana partai-partai berbasis agama mendapatkan dukungan yang signifikan dari pemilih yang merasa identitas agamanya tercermin dalam visi dan misi politik partai tersebut.

Selanjutnya, etnis juga berkontribusi dalam dinamika politik identitas. Indonesia yang kaya akan keragaman etnis menciptakan situasi di mana masing-masing kelompok etnis berupaya untuk memperjuangkan kepentingan dan keberadaan mereka. Contoh yang paling jelas dapat dilihat pada pemilu di wilayah Papua, di mana aspirasi politik masyarakat setempat sangat dipengaruhi oleh identitas etnis mereka. Dalam konteks ini, identitas etnis berfungsi sebagai jembatan untuk mendapatkan dukungan dalam politik lokal dan nasional.

Tidak kalah penting, faktor budaya turut membentuk politik identitas. Budaya lokal yang kuat dapat memicu ketidakpuasan terhadap kebijakan dari pemerintahan pusat, memunculkan gerakan-gerakan yang menuntut pengakuan terhadap nilai-nilai budaya daerah. Misalnya, di Bali, ada kecenderungan untuk memilih kandidat yang dianggap lebih menghargai tradisi dan budaya setempat. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya dapat menjadi instrumen dalam membangun kesadaran politik dalam masyarakat.

Media dan narasi digital berperan besar dalam memperkuat politik identitas. Platform digital memungkinkan pesan tersebar cepat, massif, dan emosional, sering kali tanpa verifikasi. Algoritma media sosial mendorong polarisasi dengan memperkuat konten yang memicu emosi, sehingga identitas agama, etnis, atau kelompok sosial dipolitisasi untuk kepentingan politik. Narasi digital memberi ruang bagi elit politik maupun buzzer untuk membangun citra “kami” versus “mereka”, menciptakan persepsi ancaman atau superioritas identitas tertentu. Akibatnya, publik lebih mudah terbelah, konflik diperbesar, dan rasionalitas politik tergeser oleh sentimen identitas yang mengakar di ruang maya maupun nyata.

Dampak Politik Identitas Pada Pemilu

Politik identitas telah menjadi fenomena yang signifikan dalam konteks pemilu, terutama dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia. Pengaruhnya terhadap cara masyarakat memilih kandidat dan partai politik tidak dapat diabaikan. Dengan memanfaatkan isu-isu yang berkaitan dengan identitas, baik yang bersifat etnis, agama, maupun kelas sosial, kandidat dan partai politik dapat membangun ikatan emosional dengan pemilih. Hal ini mengarah pada pembentukan kelompok dukungan yang solid, sering kali terpolarisasi berdasarkan identitas.

Selama pemilu terakhir di Indonesia, misalnya, kita witnessed betapa efektifnya politik identitas dalam mempengaruhi keputusan pemilih. Dalam banyak kasus, kandidat berhasil meraih empati dan dukungan dari segmen-segmen masyarakat tertentu dengan menekankan kesamaan identitas. Ini terlihat jelas ketika kampanye mendorong narasi yang berfokus pada penyelamatan nilai-nilai budaya atau keyakinan agama, yang mana hal tersebut sering kali menjadi pendorong utama pada saat pemilihan.

Selain itu, strategi kampanye yang mengadopsi politik identitas sering kali melibatkan penguatan stereotip dan citra tertentu untuk memperkuat posisi kandidat. Misalnya, seorang kandidat mungkin mendorong kluster identitas spesifik untuk menunjukkan bagaimana keberadaannya akan lebih menguntungkan bagi kelompok tersebut dibandingkan dengan calon dari latar belakang yang berbeda. Hal ini menyiratkan bahwa elektorat bisa jadi lebih cenderung memilih berdasarkan identitas daripada pada kualitas kandidat atau platform kebijakan yang mereka tawarkan.

Penting untuk dicatat bahwa dampak politik identitas bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mungkin membawa partisipasi politik yang lebih tinggi di antara kelompok-kelompok identitas tertentu, tetapi di sisi lain, ia juga dapat meningkatkan polarisasi dan mengancam kohesi sosial. Oleh karena itu, analisis dampak politik identitas terhadap pemilu harus dilakukan secara cermat, mengingat kompleksitas serta nuansa yang ada dalam masyarakat yang beragam ini.

Dampak Politik Identitas pada Stabilitas Demokrasi

Politik identitas telah menjadi fenomena yang signifikan dalam banyak masyarakat, dan dampaknya terhadap stabilitas demokrasi kian terasa. Ketika kelompok-kelompok tertentu menekankan perbedaan identitas, hal ini dapat mengakibatkan polarisasi masyarakat yang tajam. Polarisasi ini tidak hanya mengganggu dialog antar kelompok, tetapi juga dapat memicu ketegangan yang berujung pada konflik sosial. Ketika masyarakat terfragmentasi berdasarkan identitas, persatuan yang diperlukan untuk mendukung sistem demokrasi yang sehat menjadi sulit dicapai.

Perbedaan identitas dalam konteks politik sering kali dimanfaatkan oleh kekuatan politik untuk meraih dukungan. Mereka dapat memperkuat narasi yang mendorong perpecahan dan konflik, menggunakan isu identitas sebagai alat untuk memobilisasi kelompok tertentu. Dengan menciptakan rasa ketidakamanan di antara kelompok lain, para pemimpin politik berusaha mendapatkan legitimasi dan kekuasaan. Dalam jangka panjang, strategi ini dapat menambah tekanan pada sistem demokrasi, menciptakan tantangan yang lebih besar bagi proses pengambilan keputusan yang inklusif.

Lebih jauh lagi, ketika konflik sosial muncul sebagai akibat dari politik identitas, proses demokratis dapat menjadi terganggu. Di tengah unrest, kebijakan publik dapat terpengaruh, dengan kebijakan yang lebih cenderung menguntungkan satu kelompok identitas dibandingkan dengan yang lain. Ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik dan institusi. Jika ketidakpuasan ini terus berkembang, legitimasi demokrasi pada akhirnya dapat dipertanyakan.

Oleh karena itu, penting bagi negara-negara yang mengalami politik identitas yang berkembang untuk mengenali dan mengatasi dampak-dampak ini. Membangun dialog yang inklusif, mempromosikan kesadaran akan keragaman, serta merespon kebutuhan semua kelompok dalam masyarakat menjadi kunci untuk menjaga stabilitas demokrasi di tengah tantangan ini.

Efek negatif politik identitas terhadap demokrasi antara lain:

  • Fragmentasi sosial, menimbulkan batas-batas tajam antar kelompok, dan melemahkan prinsip inklusivitas (Bhinneka Tunggal Ika).

  • Eksklusivitas partisipasi politik—kelompok tertentu dapat didiskriminasi atau dipinggirkan, memperlemah legitimasi demokrasi.

  • Delegitimasi institusi—partai, lembaga pemilu, atau sistem demokrasi dicurigai dan dikrobakkan oleh narasi sektarian.

  • Potensi disintegrasi—keniscayaan politik identitas memberi risiko terhadap persatuan dan stabilitas nasional, khususnya jika pemilu dijalankan dengan narasi identitas eksklusif.

Contoh Kasus di Indonesia

Di Indonesia, politik identitas telah memainkan peran yang signifikan dalam dinamika pemilu. Sebagai negara dengan ragam etnis, budaya, dan agama, identitas kolektif seringkali digunakan sebagai alat untuk memobilisasi dukungan selama proses pemilihan. Salah satu contoh paling mencolok dari pengaruh politik identitas adalah pemilu gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Pertarungan antara Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak hanya menjadi arena kompetisi politik tetapi juga mengungkapkan ketegangan identitas etnis dan agama yang mendalam.

Ahok, seorang keturunan Tionghoa dan seorang Kristen, menghadapi kampanye yang kuat yang menggandeng sentimen anti-Tionghoa dan anti-Kristen. Pada saat itu, isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) muncul sebagai masif, dengan banyak pihak berusaha membentuk narasi di sekitar identitas mereka. Masyarakat Muslim, khususnya, bersatu di balik Anies Baswedan, yang dipandang sebagai representasi yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dan budaya mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana politik identitas dapat mempengaruhi pilihan pemilih dan menentukan hasil pemilu.

Contoh lain terjadi selama pemilihan presiden 2019, di mana isu identitas etnis dan agama kembali mencuat. Prabowo Subianto, yang memiliki basis dukungan kuat dari masyarakat Muslim, berusaha menarik pemilih dengan mempertegas identitas agamanya. Di sisi lain, Joko Widodo mencoba untuk mempertahankan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk minoritas. Dalam konteks ini, politik identitas tidak hanya berfungsi untuk membedakan kandidat, tetapi juga untuk membangun narasi yang kuat di antara kelompok-kelompok tertentu. Hal ini menggambarkan interaksi kompleks antara politik identitas dan faktor sosial yang lebih luas dalam mempengaruhi hasil pemilu di Indonesia.

Tantangan dan Peluang Dalam Politik Identitas

Politik identitas memiliki berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah dalam konteks pemilu dan demokrasi. Salah satu tantangan utama adalah potensi fragmentasi sosial. Ketika kelompok identitas tertentu, seperti ras, agama, atau budaya, menjadi fokus utama dalam politik, hal ini dapat mengakibatkan polarisasi di kalangan masyarakat. Individu mungkin lebih cenderung mengidentifikasi diri mereka berdasarkan afiliasi kelompok daripada sebagai bagian dari masyarakat luas. Polarisasi ini dapat mengurangi kepentingan bersama dan meningkatkan ketegangan antar kelompok, sehingga memberikan dampak negatif pada stabilitas politik dan keharmonisan sosial.

Tantangan lainnya adalah terbatasnya pemahaman akan pluralisme dalam politik identitas. Masyarakat bisa saja terjebak dalam paradigma ‘kami vs mereka’, yang menghalangi dialog dan kolaborasi antar kelompok. Hal ini dapat mengakibatkan keterbatasan dalam partisipasi politik. Ketika masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak diwakili atau diabaikan, mereka cenderung menarik diri dari proses politik, yang pada akhirnya mengurangi kualitas demokrasi yang ada.

Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang yang signifikan. Politik identitas dapat berfungsi sebagai jembatan untuk mendorong partisipasi politik yang lebih luas. Ketika berbagai identitas diakui dan dihargai, hal ini dapat mendorong individu dari berbagai latar belakang untuk terlibat dalam proses politik. Menggeser fokus dari ketegangan identitas menuju pengakuan dan dukungan terhadap keberagaman dapat memperkuat kerangka demokratis. Inisiatif yang mencakup pendidikan politik yang inklusif juga dapat membantu menciptakan kesadaran lebih tentang pentingnya keikutsertaan berbagai suara dalam pemilu.

Pada akhirnya, meskipun politik identitas menghadirkan tantangan signifikan, dengan pendekatan yang tepat dan sikap positif, masyarakat dan pemerintah dapat mengubah tantangan tersebut menjadi peluang untuk memperkuat demokrasinya. Hal ini memungkinkan dialog yang produktif dan partisipasi yang lebih besar antara berbagai kelompok identitas, menciptakan iklim politik yang lebih sehat.

Kesimpulan

Dalam beberapa tahun terakhir, politik identitas telah memainkan peran penting dalam membentuk dinamika pemilu dan sistem demokrasi di Indonesia. Kehadiran politik identitas ini, yang meliputi aspek-aspek seperti etnisitas, agama, dan budaya, tidak hanya mempengaruhi pilihan pemilih, tetapi juga menentukan arah kebijakan publik yang diambil oleh para pemimpin terpilih. Meskipun politik identitas dapat menciptakan solidaritas dan kesamaan di antara kelompok-kelompok tertentu, ia juga berpotensi menimbulkan ketegangan dan perpecahan di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memahami dampak nyata dari fenomena ini terhadap pemilu dan pelaksanaan demokrasi.

Pemilu yang diwarnai oleh politik identitas dapat mendorong dominasi satu kelompok di atas yang lain, yang pada akhirnya menghambat partisipasi politik yang inklusif. Hal ini dapat menciptakan kesan eksklusivitas yang dapat merusak rasa persatuan di antara warga negara. Di sisi lain, jika dipahami dan dikelola dengan baik, politik identitas juga dapat berfungsi sebagai kekuatan pendorong untuk demokrasi yang lebih representatif. Dengan mengenali beragam identitas yang ada dalam masyarakat, pemerintah bisa merancang kebijakan yang lebih adil, yang menjawab kebutuhan seluruh kelompok masyarakat.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk menyadari dinamika politik identitas dalam konteks demokrasi Indonesia. Melalui dialog yang terbuka dan konstruktif, serta pendidikan politik yang komprehensif, kita dapat memperkuat kohesi sosial dan memastikan bahwa semua suara didengar. Langkah-langkah proaktif diperlukan untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh politik identitas, sambil memaksimalkan potensi positif yang dapat hadir dari keberagaman identitas. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat mendorong demokrasi yang lebih sehat dan inklusif di Indonesia. Untuk mempertahankan demokrasi yang sehat dan inklusif, masyarakat perlu:

  • Menguatkan literasi politik agar masyarakat tidak mudah terprovokasi identitas semata.

  • Memperkuat institusi demokrasi agar lebih inklusif dan tahan terhadap narasi sektarian.

  • Mendorong kampanye berbasis program daripada identitas untuk mencegah fragmentasi dan menjaga kohesi sosial.

Dengan memahami pengaruh politik identitas, kita bisa semua bergerak menuju demokrasi yang lebih kuat, bermartabat, dan inklusif.

Daftar Pustaka

  1. Lemhannas. Pengaruh Politik Identitas terhadap Demokrasi di Indonesia. Jurnal Lemhannas, 202?.

  2. Tumanggor, T., & Azhar, A. A. Politik Identitas dalam Ruang Demokrasi Indonesia: Implikasi terhadap Kohesi Sosial. JIMIK, 2025.

  3. Soenjoto, W. P. P. Pemilu di Daerah Multikultural: Pengaruh Etnis dan Agama. JSP, Universitas PGRI Palangka Raya, 2025.

  4. Ardipandanto, A. Dampak Politik Identitas pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme. Politica, DPR, 2020.

  5. Aidah, N. L. Politik Identitas dalam Pemilu dan Pengaruhnya terhadap Demokrasi di Indonesia. Sosio Yustisia, 2023.

  6. Irfan, M. Framing Politik Identitas oleh Media dan Tantangan Literasi Politik. Global Komunika, 2024.

  7. Krisadhi, R. Representasi Sosial dalam Politik Identitas Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2024. Dianmas Journal, 2025.

(Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bahayngkara Jakarta Raya)