Restorative Justice: Jalan Baru Penegakan Hukum?
Artikel ini membahas konsep restorative justice sebagai jalan baru penegakan hukum di Indonesia. Dijelaskan definisi, prinsip dasar, contoh penerapan di kasus ringan dan anak, serta kelebihan dan kelemahannya. Dengan bahasa kasual yang mudah dipahami, artikel ini mengulas bagaimana restorative justice dapat menghadirkan keadilan lebih humanis, memulihkan korban, mengurangi beban penjara, sekaligus menjaga harmoni sosial dalam masyarakat.
HUKUM
Donasto Samosir - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
9/4/2025
Definisi Restorative Justice
Restorative justice adalah suatu pendekatan dalam penegakan hukum yang berfokus pada pemulihan hubungan antara individu yang terlibat dalam konflik atau kejahatan. Berbanding terbalik dengan sistem peradilan konvensional yang lebih menekankan pada hukuman bagi pelaku, restorative justice menekankan pada pemulihan, penyembuhan, dan rekonsiliasi. Konsep ini muncul dari kerangka kerja alternatif terhadap sistem hukum yang ada, dengan tujuan untuk mengurangi dampak negatif dari tindakan kriminal baik bagi korban maupun pelaku.
Sejarah restorative justice dapat ditelusuri kembali ke tradisi-tradisi sosio-religius di mana pengampunan dan pengembalian hubungan sosial dianggap penting. Di banyak budaya, bila terjadi konflik, cara penyelesaian yang lebih diperoleh dari dialog dan pengertian lebih diutamakan daripada penjatuhan hukuman. Pendekatan ini telah diterima secara luas terutama sejak akhir abad ke-20, saat masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas sistem peradilan konvensional dalam menangani kejahatan yang terus meningkat.
Secara umum, tujuan utama restorative justice adalah untuk melibatkan semua pihak yang terkena dampak, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat, dalam proses penyelesaian konflik. Pendekatan ini memberikan ruang bagi korban untuk menyampaikan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan kriminal, sementara pelaku diberikan kesempatan untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan membuat reparasi. Hal ini tidak hanya membantu proses penyembuhan bagi korban, tetapi juga memberikan pelaku kesempatan untuk berubah dan reintegrasi ke dalam masyarakat.
Perbedaan mendasar antara restorative justice dan sistem peradilan konvensional terletak pada fokus utama masing-masing. Dalam restorative justice, penekanan diletakkan pada perbaikan hubungan dan tanggung jawab sosial, sedangkan sistem konvensional cenderung berfokus pada penjatuhan hukuman. Melalui pendekatan ini, diharapkan tercipta keadilan yang lebih holistik dan berkelanjutan bagi seluruh pihak yang terlibat.
Prinsip Dasar Restorative Justice
Restorative justice merupakan pendekatan alternatif dalam penegakan hukum yang menekankan pada pemulihan, rehabilitasi, dan komunikasi antara pelaku, korban, dan masyarakat. Salah satu prinsip dasar dari restorative justice adalah pengakuan atas kerugian yang terjadi. Dalam konteks ini, semua pihak yang terlibat dalam proses ini, termasuk pelaku dan korban, diharapkan untuk menyadari dampak dari tindakan yang telah dilakukan. Pengakuan ini bukan hanya membantu korban merasa didengarkan, tetapi juga mendorong pelaku untuk merasakan penyesalan dan tanggung jawab atas tindakan mereka.
Selain itu, partisipasi aktif dari semua pihak adalah aspek penting lainnya. Di sini, baik korban maupun pelaku memiliki peluang untuk terlibat dalam dialog terbuka, yang memungkinkan mereka untuk berbagi pandangan dan perasaan mereka. Melalui proses ini, restorative justice bertujuan untuk menciptakan ruang bagi pemulihan hubungan di antara mereka, sekaligus menghindari stigmas yang sering dihadapi oleh pelaku setelah tindakan mereka. Kerjasama antara berbagai pihak ini membantu membangun rasa saling menghormati dan pemahaman.
Selanjutnya, pencarian solusi yang adil merupakan inti dari pendekatan ini. Tidak seperti sistem hukum tradisional yang seringkali hanya fokus pada hukuman, restorative justice menekankan pada pencarian jalan keluar yang bermanfaat bagi semua pihak. Solusi ini mungkin meliputi restitusi, pengampunan, atau langkah-langkah lain yang mempromosikan pemulihan. Dengan demikian, restorative justice tidak hanya berpindah dari aspek menghukum kepada rehabilitasi, tetapi juga berusaha menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, di mana komunikasi dan kerjasama diutamakan.
Contoh Penerapan di Indonesia
Restorative justice, sebagai pendekatan alternatif dalam penegakan hukum, telah diterapkan di berbagai kasus di Indonesia dengan hasil yang signifikan. Salah satu contoh penerapan yang terkenal adalah dalam kasus penganiayaan. Dalam sebuah program pilot, pelaku penganiayaan diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan korban dalam sebuah pertemuan yang difasilitasi. Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memahami dampak dari tindakannya, yang selanjutnya dapat mempromosikan rasa tanggung jawab dan perbaikan diri.
Menggunakan pendekatan restorative justice, korban tidak hanya dilibatkan dalam proses hukum tetapi juga diberi penyuluhan dan dukungan emosional. Dalam banyak kasus, pendekatan ini dapat mengurangi trauma yang dialami oleh korban dan berkontribusi pada penyembuhan lebih cepat. Misalnya, dalam salah satu studi kasus di sebuah desa di Jawa Tengah, sebuah inisiatif restorative justice berdampak positif tidak hanya terhadap korban dan pelaku, tetapi juga terhadap komunitas lokal. Hal ini terbukti dengan meningkatnya komunikasi dan pengertian antara kedua belah pihak, serta pengurangan kejadian serupa di masa mendatang.
Namun, tentu saja, tantangan tetap ada. Banyak pelaku kejahatan masih merasa enggan untuk mengakui kesalahan mereka, dan stigma sosial sering kali menghalangi penerimaan pendekatan ini. Selain itu, faktor budaya dan ketidakpahaman tentang konsep restorative justice menjadi penghalang signifikan dalam aplikasinya. Beberapa pemangku kepentingan, seperti pihak berwenang dan penegak hukum, juga perlu diberi pelatihan dan pemahaman lebih dalam mengenai pentingnya pendekatan ini. Meski demikian, pengalaman yang ada menunjukkan bahwa restorative justice memiliki potensi untuk memberikan hasil yang lebih baik bagi masyarakat, pelaku, dan korban di Indonesia.
Kelebihan Restorative Justice
Restorative justice menawarkan sejumlah kelebihan dibandingkan dengan sistem hukum tradisional yang sering kali bersifat retributif. Salah satu manfaat utama dari pendekatan ini adalah pengurangan tingkat kekambuhan di antara pelaku kejahatan. Melalui proses restorative justice, pelaku diberikan kesempatan untuk memahami dampak dari tindakan mereka terhadap korban dan komunitas. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengambil tanggung jawab dan berpartisipasi dalam pemulihan, yang dapat mengurangi kemungkinan mereka untuk mengulangi kejahatan.
Selain itu, restorative justice memungkinkan penyelesaian konflik yang lebih efektif. Dalam sistem tradisional, penyelesaian masalah sering kali berfokus pada hukuman bagi pelaku, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan perasaan korban. Sebaliknya, restorative justice mendorong dialog antara pelaku dan korban. Ini tidak hanya memperbaiki komunikasi, tetapi juga membantu menjalin pemahaman yang lebih baik, sehingga solusi yang dicapai bersifat kolaboratif dan memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Lebih jauh lagi, pendekatan ini berkontribusi pada hubungan yang lebih harmonis antara pelaku dan korban. Dengan memfasilitasi pertemuan dan dialog, restorative justice menciptakan ruang bagi kedua pihak untuk saling mendengarkan dan memahami perspektif masing-masing. Hal ini sering kali mengarah pada proses penyembuhan yang lebih baik untuk korban, serta kesadaran yang lebih mendalam dari pelaku tentang konsekuensi dari tindakan mereka.
Tidak hanya individu yang terlibat yang mendapat manfaat dari restorative justice, tetapi juga komunitas secara keseluruhan. Dengan meningkatkan hubungan antar anggota komunitas dan mengurangi ketegangan, restorative justice dapat memperkuat ikatan sosial. Ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung di mana semua orang merasa diikutsertakan, berkontribusi pada stabilitas jangka panjang dan ketahanan masyarakat.
Kelemahan Restorative Justice
Restorative justice, meskipun menawarkan pendekatan yang inovatif dalam penegakan hukum, tidak tanpa kelemahannya. Salah satu kritik utama terhadap sistem ini adalah potensi ketidakadilan yang dirasakan oleh korban. Dalam proses restorative justice, fokus pada rehabilitasi pelaku dapat menyebabkan korban merasa diabaikan, karena kepentingan mereka mungkin tidak mendapatkan perhatian yang sama. Ketika proses mediasi dilakukan, terdapat risiko bahwa suara korban dapat tenggelam dalam usaha mencapai kesepakatan yang harmonis. Hal ini sering kali menimbulkan rasa sakit dan ketidakpuasan, terutama jika korban merasa bahwa keadilan yang mereka harapkan tidak terpenuhi.
Selain itu, restorative justice berisiko menciptakan situasi di mana pelaku tidak menerima konsekuensi yang setimpal atas tindakan mereka. Dalam usaha untuk memulihkan hubungan antara pelaku dan korban, kadangkala hukuman yang dijatuhkan menjadi terlalu ringan atau bahkan hilang sama sekali. Ini bisa memberikan sinyal bahwa tindakan kriminal dapat dibenarkan selama terdapat upaya untuk meminta maaf atau melakukan perbaikan, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Persepsi bahwa pelaku dapat "keluar dari penjara" dengan lebih mudah karena proses restoratif juga dapat menciptakan kekhawatiran di kalangan masyarakat luas.
Lebih jauh lagi, penerapan restorative justice tidak selalu memastikan bahwa semua pihak terlibat secara sukarela. Dalam beberapa kasus, tekan dari masyarakat atau bahkan pelaku itu sendiri bisa mempengaruhi kesepakatan yang dicapai. Ketika pengambilan keputusan didasarkan pada tekanan tersebut, hal ini bisa mengurangi efektivitas dari proses restoratif. Oleh karena itu, penting untuk menggali lebih dalam kelemahan-kelemahan ini agar restorative justice dapat diterapkan dengan cara yang lebih adil dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat.
Restorative Justice Sebagai Sebuah Harapan Penyelesaian Perkara
Restorative Justice telah muncul sebagai pendekatan inovatif dalam penegakan hukum yang menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Melalui proses dialog dan mediasi, restorative justice menawarkan suatu solusi yang lebih damai dibandingkan dengan pendekatan punitif tradisional. Konsep ini bukan sekadar mengganti hukuman penjara, tetapi juga memberikan kesempatan kepada individu untuk menyadari kesalahan mereka, memperbaiki kerugian, dan mempromosikan pemulihan. Dengan penerapan prinsip-prinsip ini, diharapkan dapat mengurangi stigma sosial terhadap pelaku dan memungkinkan mereka untuk reintegrasi ke dalam masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, tantangan dan peluang untuk mengimplementasikan restorative justice cukup signifikan. Masyarakat, sistem hukum, dan pemerintah perlu berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pendekatan ini. Kesiapan para penegak hukum untuk menerima restorative justice sebagai alternatif yang serius menjadi kunci untuk keberhasilan penerapan. Selain itu, penciptaan infrastruktur yang memadai, seperti pelatihan bagi mediator dan penyuluhan bagi masyarakat juga penting untuk memastikan pelaksanaan yang berhasil.
Melalui pemahaman yang lebih mendalam dan keseimbangan antara penegakan hukum dan rehabilitasi, kita bisa berharap untuk menciptakan sistem yang lebih humanis dan restoratif. Tujuan akhir adalah mengurangi angka kejahatan dengan memberikan peluang bagi pelaku untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan mencapai rekonsiliasi dengan para korban. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan menyeluruh, restorative justice dapat berkontribusi kepada terciptanya masa depan yang lebih baik dan lebih adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sumber:
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Mandar Maju, 2015.
Prasetyo, Teguh. Keadilan Restoratif dalam Sistem Pidana Indonesia. Jakarta: Kencana, 2017.
Komnas HAM. Restorative Justice dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM, 2020.
Kejaksaan RI. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Jakarta: Kejaksaan RI, 2020.
Polri. Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Jakarta: Mabes Polri, 2019.
Lestari, Rina. “Restorative Justice: Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana.” Jurnal Hukum Indonesia, Vol. 12, No. 1, 2021.
Nugroho, Wahyu. “Efektivitas Penerapan Restorative Justice di Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum Nusantara, Vol. 15, No. 2, 2020.
(Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)



