Sistem Politik Presidensial vs Parlementer
Artikel ini membahas perbedaan sistem politik presidensial dan parlementer, mulai dari definisi, ciri khas, contoh negara yang menerapkannya, hingga kelebihan dan kelemahannya. Juga dijelaskan relevansi kedua sistem pemerintahan tersebut bagi Indonesia dalam menjaga stabilitas politik dan demokrasi. Simak ulasan lengkap tentang keunggulan, tantangan, serta pelajaran penting dari dua model pemerintahan ini di berbagai negara.
POLITIK
Donasto Samosir - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
8/28/2025


Definisi Sistem Presidensial
Sistem politik presidensial merupakan suatu bentuk pemerintahan yang memiliki karakteristik unik, di mana Presiden bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam sistem ini, posisi Presiden merupakan salah satu elemen sentral dalam menjalankan pemerintahan, dengan tanggung jawab yang meliputi pembuatan kebijakan, pelaksanaan undang-undang, serta pengaturan kegiatan pemerintahan sehari-hari. Berbeda dengan sistem parlementer, di mana eksekutif berhubungan erat dengan legislatif, dalam sistem presidensial terdapat pemisahan yang jelas antara dua cabang kekuasaan ini.
Di dalam struktur pemerintahan presidensial, kekuasaan eksekutif adalah independen dari kekuasaan legislatif. Hal ini berarti bahwa Presiden dan lembaga eksekutif tidak hanya mendapatkan mandat melalui pemilihan umum, tetapi juga tidak tergantung pada kepercayaan dari legislatif untuk menjalankan tugasnya. Pemisahan kekuasaan ini menjadi salah satu prinsip dasar yang mendasari sistem presidensial, di mana masing-masing cabang pemerintahan memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang terpisah serta beroperasi secara mandiri.
Prinsip lain yang berkaitan dengan sistem presidensial adalah sistem cek dan imbang (checks and balances) yang berfungsi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Melalui mekanisme ini, legislatif berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan eksekutif, dan sebaliknya, eksekutif memiliki kemampuan untuk memveto undang-undang yang telah disahkan oleh legislatif. Oleh karena itu, sistem politik presidensial menawarkan kerangka kerja yang memungkinkan adanya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan pemerintahan, mendorong Presiden untuk bertindak sesuai dengan kepentingan publik dan prinsip-prinsip demokrasi.
Ciri utama sistem presidensial antara lain:
Pemisahan yang tegas antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi tidak percaya.
Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui pemilu.
Di banyak negara, sistem ini dianggap mampu memberikan stabilitas pemerintahan karena kepala eksekutif tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen, meskipun terkadang berpotensi menimbulkan pemerintahan yang terlalu kuat.
Definisi Sistem Parlementer
Sistem parlementer merupakan salah satu bentuk sistem politik di mana kekuasaan eksekutif berasal dari dan bertanggung jawab kepada legislatif. Pada umumnya, dalam sistem ini, perdana menteri berperan sebagai kepala pemerintahan dan memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan serta pelaksanaan kebijakan publik. Perdana menteri biasanya merupakan pemimpin partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan legislatif, sehingga posisinya tergantung pada dukungan mayoritas di parlemen.
Karakteristik utama dari sistem parlementer adalah hubungan yang erat antara legislatif dan eksekutif, di mana kedua cabang kekuasaan ini saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Legislatif memiliki kekuasaan untuk membentuk pemerintahan melalui proses pemilihan, sedangkan eksekutif memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang ditetapkan oleh legislatif. Dalam sistem ini, jika perdana menteri kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen, dia dapat diancam dengan mosi tidak percaya yang dapat mengakibatkan pengunduran dirinya dan pembentukan pemerintahan baru.
Proses pembentukan pemerintahan dalam sistem parlementer biasanya diinisiasi melalui pemilihan umum, di mana partai-partai politik bersaing untuk mendapatkan kursi di parlemen. Setelah pemilihan, partai yang meraih suara terbanyak akan mencoba membentuk koalisi dengan partai lain jika tidak memiliki mayoritas mutlak. Sebaliknya, mekanisme pengunduran pemerintahan bisa terjadi melalui dua cara utama: melalui mosi tidak percaya atau melalui pemilihan umum yang baru. Hal ini menunjukkan fleksibilitas sistem parlementer dalam menyikapi dinamika politik dan kekuasaan dalam pemerintahan.
Ciri utama sistem parlementer antara lain:
Perdana menteri dipilih dari partai politik atau koalisi yang menguasai mayoritas di parlemen.
Pemerintah (kabinet) dapat dijatuhkan melalui mekanisme mosi tidak percaya.
Kekuasaan legislatif dan eksekutif cenderung lebih terintegrasi dibandingkan sistem presidensial.
Sistem ini lebih fleksibel karena dapat segera mengganti pemerintahan yang dianggap gagal, tetapi kelemahannya adalah rentan terhadap instabilitas politik jika koalisi partai rapuh.
Contoh Negara dengan Masing-Masing Sistem
Sistem politik presiden dan parlementer memiliki penerapan yang beragam di seluruh dunia, dengan masing-masing negara mempunyai karakteristik yang unik yang merefleksikan pilihan sistem pemerintahan mereka. Di antara negara-negara yang menerapkan sistem presidensial, Amerika Serikat dan Brasil merupakan contoh yang menonjol. Dalam sistem presidensial, eksekutif dan legislatif berfungsi secara terpisah, yang memberikan kekuasaan yang signifikan kepada presiden. Di Amerika Serikat, presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki kekuasaan untuk mengangkat menteri serta memveto undang-undang yang disusun oleh kongres. Kemandirian ini menciptakan sistem pemerintahan yang dinamis namun terkadang menghadapi tantangan dalam mencapai kesepakatan politik.
Sementara itu, Brasil juga menerapkan sistem presidensial, di mana presiden juga menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam konteks Brasil, presiden memiliki kekuasaan yang luas dan diharuskan untuk bekerja sama dengan kongres dalam pembuatan undang-undang, meskipun adanya potensi untuk konflik antara kedua cabang pemerintah ketika prasangka politik berbeda. Keterkaitan antara eksekutif dan legislatif di Brasil memberikan gambaran yang menarik tentang bagaimana sistem presidensial dapat berfungsi di negara berkembang.
Di sisi lain, sistem parlementer menyajikan karakteristik yang berbeda, dengan Inggris dan Jerman sebagai contoh negara yang sukses menerapkannya. Dalam sistem parlementer, kekuasaan eksekutif tergantung pada dukungan legislatif, yang sering kali mengarah pada pembentukan pemerintahan koalisi. Inggris, dengan sistem monarki konstitusionalnya, memiliki perdana menteri yang diangkat dari partai mayoritas di parlemen, menjadikannya pemimpin yang bertanggung jawab atas banyak kebijakan pemerintahan. Jerman, dengan sistem federalnya, juga menerapkan praktik yang serupa, di mana kanselir memerlukan dukungan legislatif untuk menjalankan program yang diusulkan. Kedua negara ini memberikan ilustrasi bagaimana sistem parlementer dapat menghasilkan stabilitas politik dan pemerintahan yang responsif terhadap kehendak rakyat.
Kelebihan dan Kelemahan Sistem Politik Presidensial
Sistem politik presidensial memiliki beberapa kelebihan yang membuatnya menarik bagi banyak negara. Salah satu kelebihan utama adalah stabilitas politik yang seringkali dapat dicapai. Dalam sistem ini, kepala negara berfungsi sebagai kepala pemerintahan, sehingga terdapat pemisahan yang jelas antara eksekutif dan legislatif. Pemisahan ini membantu menghindari dominasi satu cabang kekuasaan atas yang lain, yang dapat menciptakan check and balances yang efektif. Stabilitas ini memungkinkan kebijakan yang diterapkan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama tanpa terganggu oleh perubahan koalisi, menjadikan sistem ini ideal bagi negara yang membutuhkan konsistensi dalam kebijakan.
Namun, terdapat juga kelemahan yang perlu dicermati. Salah satu kelemahan utama sistem presidensial adalah potensi konflik antara eksekutif dan legislatif. Ketika cabang yang berbeda dipimpin oleh partai politik yang saling berseberangan, dapat muncul kebuntuan yang menghambat pengambilan keputusan penting. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dalam pemerintahan, serta mengurangi efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan. Selain itu, keputusan yang diambil oleh eksekutif mungkin tidak selalu mencerminkan kehendak rakyat jika tidak adanya konsensus dengan legislatif. Akibatnya, perubahan kebijakan dapat menjadi rumit dan terhambat oleh perdebatan politik.
Kelebihan dan Kelemahan Sistem Politik Parlementer
Di sisi lain, sistem politik parlementer menawarkan kelebihan signifikan dalam hal fleksibilitas pemerintahan. Dalam sistem ini, eksekutif berasal dari legislator, yang berarti keterikatan yang lebih erat antara kedua cabang. Hal ini memudahkan pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan secara lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat. Ketika terdapat kebutuhan mendesak untuk merespons situasi tertentu, pemerintah parlementer dapat bergerak lebih cepat dibandingkan dengan sistem presidensial, di mana persetujuan dari dua cabang diperlukan.
Namun, kelemahan sistem parlementer juga patut diperhatikan. Salah satu risikonya adalah potensi ketidakstabilan kabinet. Di dalam sistem ini, pemerintah dapat jatuh apabila kehilangan dukungan mayoritas di parlemen, yang dapat menyebabkan perubahan penguasa yang cepat dan tidak terduga. Hal ini dapat menciptakan suasana ketidakpastian di kalangan masyarakat dan pengusaha, yang dapat berdampak negatif pada investasi dan pembangunan ekonomi. Ketidakstabilan ini, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menimbulkan efek domino bagi kebijakan dan pelayanan publik.
Relevansi bagi Indonesia
Indonesia sejak awal kemerdekaan sebenarnya sempat mencoba kedua sistem ini. Pada masa awal 1945–1949, Indonesia menganut sistem presidensial sesuai UUD 1945. Namun, pada periode Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia menerapkan sistem parlementer. Pengalaman dengan sistem parlementer pada masa itu menunjukkan kelemahannya: kabinet sering jatuh dalam waktu singkat karena konflik antarpartai. Hal ini menimbulkan instabilitas politik yang berimbas pada jalannya pemerintahan.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke UUD 1945 yang menegaskan sistem presidensial. Namun, dalam praktiknya pada masa Orde Baru, sistem ini cenderung menyimpang karena kekuasaan presiden yang terlalu dominan.
Sejak reformasi 1998, Indonesia memilih untuk mengadopsi sistem politik presidensial yang memungkinkan pemilihan langsung untuk posisi presiden. Sistem ini memberikan kekuasaan yang cukup besar pada presiden, menjadikannya sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Hal ini berdampak pada bagaimana kebijakan politik dan ekonomi diimplementasikan, serta mempengaruhi pembentukan koalisi politik di dalam parlemen.
Salah satu pengaruh utama dari sistem presidensial di Indonesia adalah kekuatan eksekutif yang manifest dalam kapasitas presiden untuk memengaruhi kebijakan publik dan pembuatan undang-undang. Namun, sistem ini juga menghadapi tantangan, seperti potensi konflik antara eksekutif dan legislatif. Ketidakcocokan antara partai politik yang memegang kursi di parlemen dan calon presiden yang terpilih dapat menyebabkan ketegangan dan stagnasi dalam pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, konsep checks and balances perlu dijaga agar kekuasaan eksekutif tidak terlampau dominan.
Peluang untuk perubahan sistem politik juga muncul ketika mempertimbangkan efisiensi dan responsifitas pemerintahan. Jika kita melihat negara-negara yang telah menerapkan sistem parlementer, terlihat bahwa sistem ini sering kali menghasilkan stabilitas pemerintahan yang lebih baik dan hubungan yang lebih harmonis antara eksekutif dan legislatif. Ada argumen yang menyatakan bahwa Indonesia harus berani mengeksplorasi perubahan ke sistem parlementer untuk meningkatkan kualitas pemerintahan dan partisipasi politik masyarakat. Evaluasi kritis terhadap sistem yang ada dan ketahanan politik akan memberikan wawasan baru tentang kemungkinan reformasi untuk mencapai pemerintahan yang lebih baik di Indonesia. Dalam pengembangan kebijakan dan sistem pemerintahan, penting untuk mempertimbangkan kembali struktur politik yang ada untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat.
Perbandingan Pengaruh Terhadap Kebijakan Publik
Sistem politik presidensial dan parlementer memiliki dampak yang signifikan terhadap pengembangan kebijakan publik, terutama dalam hal pengambilan keputusan dan respons pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam sistem presidensial, pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dapat menciptakan tantangan dalam proses pembuatan kebijakan. Presiden biasanya memiliki kekuasaan untuk mengusulkan kebijakan, namun proses legislatif memerlukan persetujuan dari parlement. Hal ini terkadang dapat menyebabkan stagnasi dalam agenda kebijakan jika terjadi ketidakcocokan antara kedua cabang kekuasaan. Sebaliknya, dalam sistem parlementer, di mana eksekutif diambil dari legislatif, pembuatan kebijakan cenderung lebih cepat dan lebih terintegrasi. Pemerintah yang dibentuk dari partai mayoritas memiliki kemampuan untuk meneruskan agenda kebijakan mereka dengan lebih efisien.
Selain itu, efektivitas dalam menangani isu-isu publik juga bervariasi antara kedua sistem. Dalam sistem parlementer, kabinet yang merupakan bagian dari legislatif biasanya lebih terhubung dengan isu-isu yang dihadapi masyarakat, sehingga memungkinkan penanganan masalah secara langsung dan responsif. Ketika masyarakat menyampaikan aspirasi atau tuntutan, pemerintah parlementer cenderung lebih merespon with baik, karena mereka memiliki legitimasi dari dukungan legislatif. Di sisi lain, dalam sistem presidensial, ketidakcocokan antara visi presiden dan parlemen dapat menghalangi respons terhadap isu-isu kritis, membuat proses menjadi lebih lambat.
Di samping itu, politisi dalam sistem parlementer sering kali lebih besar akuntabilitasnya kepada publik dan harus mempertimbangkan suara konstituen mereka dengan lebih mendalam. Hal ini menjadikan sistem parlementer lebih adaptif dalam merespons perubahan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, walaupun presiden dapat memberikan keputusan yang cepat, jangka panjangnya mungkin menghadapi kesulitan dalam hal keterwujudan prioritas masyarakat yang terus berubah. Dengan demikian, perbandingan ini menunjukkan bahwa kedua sistem politik memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mempengaruhi kebijakan publik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dalam kajian ini, kami telah membahas berbagai aspek dari sistem politik presidensial dan parlementer, menyoroti kelebihan serta kekurangan masing-masing sistem. Sistem presidensial menawarkan stabilitas dan keterpaduan dalam kepemimpinan, sementara sistem parlementer dapat meningkatkan akuntabilitas dan kolaborasi antar partai. Pemahaman mengenai kedua sistem ini sangat penting, terutama bagi pemangku kepentingan politik Indonesia yang ingin menjajaki cara-cara untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan.
Rekomendasi untuk pemangku kepentingan adalah untuk mempertimbangkan pendekatan hibrida yang memadukan elemen terbaik dari kedua sistem. Misalnya, Indonesia dapat mempertahankan pemilihan presiden langsung untuk menjamin stabilitas, namun juga mengadopsi mekanisme dari sistem parlementer untuk meningkatkan kolaborasi antar partai dalam pemerintahan. Hal ini dapat membantu menciptakan sebuah lingkungan politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Selain itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki pemahaman yang mendalam mengenai sistem politik yang diterapkan. Pendidikan politik yang lebih baik dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya akan menghasilkan kebijakan yang lebih relevan dan sesuai dengan aspirasi publik. Dengan demikian, partisipasi yang aktif dari masyarakat juga dapat menjadi bentuk pengawasan yang efektif terhadap pemerintah.
Kesimpulannya, dengan mengeksplorasi kelebihan dan kekurangan dari kedua sistem politik, serta mempertimbangkan kebutuhan unik Indonesia, kami percaya bahwa pemangku kepentingan dapat menciptakan suatu sistem yang lebih efektif dan efisien. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa perjalanan politik Indonesia dapat menuju arah yang lebih baik, memastikan adaptasi yang tepat terhadap keterbatasan serta tantangan yang dihadapi.
Sumber:
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2015.
Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 2016.
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017.
Haryanto, Joko. “Perbandingan Sistem Presidensial dan Parlementer.” Jurnal Ilmu Politik Indonesia, Vol. 13, No. 2, 2019.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011.
Suryadinata, Leo. Sistem Politik di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 2018.
Wahyudi, Ismail. “Stabilitas Politik dalam Sistem Presidensial Indonesia.” Jurnal Ketatanegaraan, Vol. 10, No. 1, 2020.
(Penulis adalaha Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)



